Selasa, 18 Juni 2013

Badai Pasti Berlalu



Sebut saja aku pengecut. Karena sikapku yang tak pernah bisa berlaku jujur padamu. Akan isi hatiku yang menggebu. Dan masih saja ku mencoba menutupinya. Walau kita sama-sama tahu, ketidakjujuranku. Tak pernah sekalipun kau mempermasalahkan diriku. Pengecut tetaplah pengecut. Sampai kapanpun takkan pernah berubah. Sebab suara hatimu yang meminta dan aku tak sanggup berpijak pada keberanian. Apalah kata dunia nanti, jika melihat diriku berbeda dari biasanya. Tentu berbagai persepsi mewarnai alur perubahan.
 
Badai pasti berlalu digantikan oleh angin sepoi penyejuk jiwa. Namun pantaskah aku melupakan cerita hidupku ini terhadapmu. Barangkali dalam lupaku, kau masih ingat betapa aku tersipu karenamu. Ekspresiku tanda terbujuk rayuanmu. Dan gelak tawa di antara kita yang dibatasi tembok perbedaan. Sungguhpun demikian, mungkin semua yang terjadi padaku akan tetap abadi sampai kapanpun. Oleh genggaman tanganmu.

Aku benar-benar tak rela jika harus kehilangan dirimu. Karena sebelah hatiku ada dalam dirimu. Aku juga tak mau mengabadikan dirimu dalam diriku. Karena aku tak mau berkorban sedalam-dalamnya untuk hal yang belum pasti. Kepastian takkan pernah ku dapatkan darimu. Mungkin saja kata cintamu adalah palsu. Bukan berarti tak ada penghargaan buatmu. Demi kesucian kau dan aku, tak perlu lagi untuk meresmikan kelanjutan cinta ini.

Sadarkah engkau bahwa aku tak akan mampu menjadi impian bagimu. Aku takkan pernah bisa seperti yang kau ingini selama ini. Kekuranganku lebih besar dari kelebihanku. Sehingga aku tak pantas menyandang gelar sebagai kekasih hatimu. Biarlah aku tetap menahan rasa sakitku di balik tawaku. Biarlah untuk selamanya aku memendam kisah cinta ini. Biarlah aku merelakanmu meninggalkan sebelah hatiku. Biarlah waktu kan menghapus duka laraku tentangmu.

RINDU DI ATAS PENANTIAN





Pagi adalah awal. Tumbuhnya rasa sayang yang tak bernama saat pertemuan pertama. Sianga dalah tengah. Mekarnya bunga asmara dua hati satu jiwa saat cinta bercerita. Malam adalah akhir. Gelisahnya hati saat rindu menghampiri.

Jarak yang terbentang telah memisahkan kita. Aku di sini dan kau di sana. Tak ada yang tahu di mana sebenarnya tempatmu berada. Tak ada yang apat memastikan, apakah sebenarnya yang kau lakukan di sana. Sampai pada akhirnya, melupakan aku begitu saja.

Aku kesepian dengan hidup yang hampa ini. Meski aku sadar dan tahu diri bahwa kehidupan ini sangatlah berharga. Tentunya sampai datang kematian yang akan merenggut kehidupan. Bagaimana bisa aku menahan lebih dalam lagi kerinduan yang terpendam ini. Jika dalam hati hanya ada tentangmu. Yang pasti, aku sangat merindukanmu. Dan mungkin sakitku sekarang adalah sakit cinta. Betapa hanyutnya aku merenungi rindu-rindu yang terkisah ini.

Kapan lagi aku bisa menatap wajahmu dan menyentuh tubuhmu? Selama ini hanya lewat mimpi saja semua itu ku lakukan. Sekian lama kita berpisah, masih saja rindu yang ku rasa. Rindu dan rindu tiada henti-hentinya. Tak pernah bosan jiwaku menjalani rindu ini. Meski ragaku telah rapuh. Karena sekian lama ku tunggu, sekian lama ku tertipu. Rindu ini hanyalah penantian belaka.

Rabu, 12 Juni 2013

SURAT HARAPAN


Telah aku katakan, bahwa perpisahan ini hanyalah untuk sementara waktu. Semenjak engkau katakan bahwa kau ingin menjadikannya sebagai kenangan manis untuknya. Aku mulai sadar diri dan memahami itu semua. Hanyalah seuntai dilema yang membuka jalannya cerita cinta di antara kita.  Dulu, kau telah katakan padaku, janji indah itu hanya untukku. Karena dirinya yang selalu kau damba, kini telah pergi bersama kekasih hatinya.

Aku berharap, dia tetap menjadi cinta sejatimu sebatas mimpi. Dan akulah kini, cinta sejatimu yang menemanimu di alam nyata ini. Meski sebentar lagi mungkin kita harus berpisah, tapi dengan kekuatan cintaku, akan ku halangi waktu untuk selalu dan selalu bersamamu. Hingga jantung ini masih mampu untuk berdetak, merasakan indahnya kebersamaan denganmu.

Ya, sebentar lagi kita pasti bertemu. Lewatilah tanggal 30 Oktobermu dengan hati gemilang. Dan kenanglah tanggal 31 Oktobermu sebagai saat perpisahan yang menyilaukan mata, melambangkan kesedihanmu yang mendalam. Setelah kau lewati itu semua, aku yakin hatimu akan seputih dan sesuci dulu lagi. Sepeti saat-saat kita berjumpa untuk pertama kali. Aku tak mau disaat kita bertemu nanti, Ku lihat kau tetap bersedih hati memikirkan seseorang yang telah membuat hatimu hancur lebur tak berbentuk. Ingat, dialah makhluk ganas yang menggerogoti sendi-sendi tulangmu bagaikan sang harimau liar.

Sekaranglah saatnya, kau tutup lembaran hitam pada memori ingatanmu. Dan bukalah lembaran pelangi untuk menghidupkan kembali cintamu. Cerita di antara cerita, pastilah ada yang berlaku dengan kehampaan, penyesalan, ataupun kepedihan yang tak terobati. Itu hanya sebagian kecil, sebagian lagi ku yakin bukan begitu. Cinta sejati adalah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tulus dari hati kecil kita. Untuk itu, kita harus selalu berbagi kasih dan menambahkan benih-benih keyakinan demi masa depan.

Aku tak memaksamu untuk meninggalkan seseorang yang kau agungkan laksana Malaikat Cinta. Juga tak memintamu untuk mencintai diriku sepanjang hidupmu. Karena cinta bukan datang dari kita, melainkan anugerah dari Yang Kuasa, sebagaimana disyairkan dalam lagu Radja.

Aku akan datang mengisi hari-harimu dan takkan menyia-nyiakan waktuku bersamamu. Kau adalah orang pertama yang mengisi relung hatiku. Meski aku bukanlah orang pertama di relung hatimu. Mungkin kau dapat melepaskan rindumu denganku. Atau bahkan dengannya walau untuk sementara waktu.

Cukuplah kiranya problematika dariku yang banyak menumpahkan lara untukmu. Kenang aku, jangan kau biarkan dia atau siapapun juga singgah di hati kecilmu. Tunggulah aku di seberang tembok cintamu. Karena kedatanganku dapat mengembalikan senyuman manismu. Dirimu adalah diriku, jiwamu adalah jiwaku, dan cintamu adalah cintaku. Dan segalanya yang ada darimu, ku bingkai dalam pigura untuk ku jadikan lukisan hatiku. Percayalah padaku.

Rabu, 05 Juni 2013

APA IYA, ELO SUAMI GUE?



SIAPA ELO??
*
Kepala gue jadi pusing begini. Rasanya berat sekali. Samar-samar terlihat suasana kamar gue yang penuh dengan kelambu pink. Yah, cukup indah dan menarik. Entah, siapa yang mengikhlaskan waktunya untuk mendesain secantik demikian. Gue nggak mau mikir sampe ke situ. Pusing di kepala gue sungguh menyiksa pake banget!
Tiba-tiba...
“Hah, siapa lo?”, teriak gue.
“Gue Galih! Ratna, lo lupa sama gue? Gue Galih, suami lo sekarang!”.
“Emang dulu suami gue siapa? Gue nggak percaya kalo lo suami gue!”
“Ini liat, cincin gue bernama Ratna. Dan itu, cincin lo bernama Galih. Apa bukti kurang cukup?”.
“Tetep nggak percaya!”, kata gue.
            Ternyata dia tak menyerah yakinin gue tentang statusnya.
“Nggak percaya? Coba lo liat gaun yang lo kenakan itu! Liat jas yang gue kenakan juga! Apa masih kurang yakin dengan gue?”.
“Oke, gue kenal lo. Lo itu Galih. Galih temen kampus gue, meski beda jurusan. Tapi yang gue bingungin, kenapa lo ada di sini? Kan ini kamar pribadi gue. Hanya yang punya ikatan keluarga dengan gue aja yang boleh menginjakkan kakinya di sini”.
            Dia nampak frustasi dan bingung sendiri.
“Hei, kenapa manyun gitu? Bilang dong sama gue, apa yang terjadi sebenernya. Gue kan lupa dengan semua kejadian yang ...”.
Belum sempet gue selesai ngomong, dia memeluk gue.
“Gue suami lo, Ratna. Masa lo lupa? Sadarlah!”.
Gue tetep nggak inget!
            “Duh, gimana lagi ya ngeyakinin lo kalo gue ini suami elo yang sah secara hukum dan agama. Gimana coba?”.
“Yah, semua tergantung amal dan ibadah masing-masing”.
“Lah, lo kok malah bercanda gitu? Ini ciyus loh!”.
“Ah lebay lo! Gue juga ciyus. Masa iya, gue mau nikah gitu aja. Nggak mungkin banget deh. Meski lo itu cowok cakep pake banget yang pernah gue kenal”.
            “Tapi nyatanya gue emang suami lo, Ratna. Lo amnesia pasti. Lupa ama semua kejadian pernikahan kita. Sabar Galih. Kesabaran lo sedang diuji!”.
“Masa ngomong sendiri gitu?”, tanya gue.
“Abis elonya nggak percaya pake banget sama gue”.
“Gue itu nggak yakin pake banget, kalo lo emang bener-bener suami gue!”.
“Argghh, gue jadi bingung ngadepin lo yang nggak inget apa-apa gini. Yasudah, sekarang mending lo tidur yang nyenyak. Mudah-mudahan besok lo bisa inget siapa gue!”
            Galih ninggalin gue sendirian di kamar. Ya, itu bagus! Gue jadi aman deh. Secara, gue sendirian di rumah ini. Coba kalo sekamar sama gue, bisa berabe gue. Masa depan gue akan hancur dalam sekejap mata. Bahaya pake banget kalo gue sampe diapa-apain ama si Galih itu. Mau teriak, pasti nggak ada yang nolong. Tetangga-tetangga gue juga nggak begitu peduli dengan gue. Itu pasti! Tapi tunggu, Galih tidur dimana? Kan rumah gue ini Cuma ada satu kamar, yaitu kamar gue doang.
            “Galih...! Lo dimana?”, teriak gue.
Ternyata dia udah bobo pulas di sofa ruang tengah. Gue nggak mau ganggu dia. Biarin deh dia istirahat dulu di rumah gue ini. Besok, gue akan usut lagi perkara yang sebenernya. Gue juga mau tidur. Udah ngantuk pake banget. Apalagi pusing di kepala gue juga masih ada. Gue balik ke kamar lagi untuk istirahat.
**
            Pagi ini cerah sekali. Suara burung-burung yang bertengger di pohon samping rumah, menambah indahnya pagi ini. Tambah semangat deh gue.
 “Masak apa ya? Di kulkas Cuma ada seiket sayur kangkung sama sepotong tempe. Yasudah, terpaksa masak dua komponen ini. Mau ke pasar juga males pake banget! Apalagi dua jam lagi, gue harus segera bersiap ke kampus. Time to cook....”.
            Sejam kemudian, masakan gue udah terhidang manis di meja. Tapi tunggu, sepertinya gue melupakan sesuatu.
“Ah bodo amat! Gue nggak mau inget-inget sesuatu yang gue lupain. Gue mau mandi aja. Sarapan abis mandi aja”.
Gue segera menarik handuk dan melesat ke kamar mandi.
“Mandi. Ye ye ye...”.
            Pintu kamar mandi gue buka.
“Waaaaaaaa, lo.........!!”, teriak gue.
“Haaa...........!”.
Brakkk! Pintu segera ditutup kembali.
“Eh Galih, lo masih disini? Kenapa nggak pulang aja sih? Emangnya lo nggak punya rumah apa?”.
Galih sepertinya tak menggubris omongan gue.
            “Woi, lo nggak dengerin omongan gue?”, teriak gue.
Males pake banget kalo teriak kaya orang kesurupan, tap nggak digubris sama sekali. Bikin hati gue nyesek pake banget.
Galih keluar dengan hanya berbelit handuk. Dasar orang cakep, penampilan minimalis kaya gitu tetep cakep deh! Jadi pingin punya pendamping hidup yang berbodi kaya Galih. Mimpi nggak ya?
            “Woi, nglamun lagi! Cengar-cengir kaya orang bego tau nggak?”.
Wah, dia memancing amarah gue! Kurang ajar banget!
“Apa? Lo ngatain gue apa? Bisa-bisanya lo ngomong gitu sama gue. Baru cakep dikit aja udah belagu, gimana kalo cakep pake banget? Makin belagu aja pastinya. Yaudah, minggir! Gue mau mandi. Minggir!”.
            Oh iya, kata-kata gue barusan itu salah pake banget. Kan dia jadi mikir kalo gue lagi mikirin kecakepannya dia. Ini adalah kesalahan. Meskipun iya, kan bisa jadi dia GR. Makin besar kepala aja deh dia entar. Gawat pake banget. Ngapain gue jadi bener-bener mikirin dia. Acara mandi ceria sampe gue lupain begitu aja.            
***
            “Boleh nggak, gue ikutan makan?”, tanya Galih.
“Makan aja. Tapi nggak usah protes dengan masakan gue. Gue nggak sempet ke pasar. Jadi Cuma masakan ini aja yang gue masak”, jawab gue.
Galih makan dengan lahapnya. Apa masakan gue enak? Atau apa dia emang laper pake banget?
            “Kalo makan jangan cepet-cepet gitu dong. Santai aja kali. Laper apa laper?”.
“Laper pake banget! Tapi masakan lo itu mantap banget. Nggak jauh beda ama masakan Bunda gue. Asik, sekarang nggak perlu nungguin Bunda untuk masakin Galih. Masakan lo udah cukup istimewa”.
“Idih, apa-apaan? Lo siapa gue? Huh!”.
Galih menghentikan aktivitas makannya.
            “Kan gue udah bilang, kalo lo itu istri gue! Masa tetep lupa. Inget-inget lagi dong!”.
“Gue bingung Galih. Butuh waktu untuk inget siapa lo. Yang gue inget, gue itu belum menikah. Status gue masih single. Gue juga masih virgin”.
“Ya iyalah, orang belum gue apa-apain!”.
“Lo ngomong apaan barusan?”.
“Nggak ngomong kok!”.
***
            “Ratna, kemane aje lo? Kok baru keliatan?”, tanya Riri.
“Ah elo Ri. Lo kan tau kalo gue kemaren-kemaren sakit”.
“Jadi, selama 2 minggu nggak masuk kuliah itu, elo sakit ya?”.
“Baru tau ya?”.
“Hehee iya. Gue emang baru tau”.
            “Ri, boleh gue pinjem semua catatan-catatan kuliah elo? Lo tau sendiri, gue kan banyak ketinggalan selama gue nggak masuk kuliah. Boleh ya?”.
“Boleh, tapi wani piro?”.
“Idih, si Riri belagu pake banget! Lain kali, gue nggak mau tuh nemenin elo shopping lagi. Kan elo udah nggak bersahabat lagi sama gue. Deal?”.
Riri jadi blingsatan.
            “Weits, jangan! Gue nggak punya temen yang asik selain elo, Ratna. Kalo elo nggak mau diajakin shopping, mau ngajak siapa lagi gue? Kan gue nanti bisa galau setengah mati. Kan gue masih awet ama status jomblo gue. Ini, gue pinjemin semuanya”.
“Lah, elo takut banget kalo gue nggak care sama elo lagi? Makanya, cari pacar sana!”
“Ah, hidup elo udah sempurna banget!”.
            “Sempurna gimana? Gue juga jomblo kali. Kita samaan”.
“Oh iya, gue ada janji ketemu Bu Hilda. Sampe nanti ya Ratna. Daa daa....”.
“Si Riri emang lucu. Dia jomblo bukannya dia jelek. Menurutku dia sangat manis. Cuma badannya aja yang sedikit membengkak. Catatan-catatan Riri susah dibaca. Tulisan dia itu nggak lebih bagus dari anak TK. Pinjem siapa lagi ya?”.   
****
            Membaca tulisan tak semudah menakhlukkan puncak Merapi. Susah pake banget.
“Maaf ya Ratna, gue pulang telat. Tadi maen basket dulu bareng temen-temen. Nggak apa-apa kan?”.
“Terserah deh! Lagian kenapa mesti balik ke sini? Elo nggak wajib kok ke sini. Kan elo masih punya rumah? Iya kan?”.
“Cape deh! Gue mau mandi dulu! Nanti elo, gue ajak jalan-jalan sore!”.
            Gue masih nggak ngerti juga dengan sikap dan kelakuan Galih yang aneh. Kenapa masih bertahan untuk tinggal di rumah gue? Untung tetangga-tetangga gue orangnya cuek semua. Coba kalo nggak, pasti gue ama Galih udah diusir dengan tuduhan kumpul kebo. Ikh, nggak mau banget gue. Memalukan sekali kalo demikian. Tapi gimana cara mengusir Galih dari rumah gue?
“Stop! Ini tulisan Riri jelek sekali ya? Susah dibaca. Cocok banget kalo dia jadi dokter. Tulisannya mencirikan dokter banget”.
*****
            Galih ngajak gue jalan-jalan sore di taman. Jalan kaki yang lumayan romantis menurut gue. Tapi kan, dia bukan siapa-siapa gue. Bagaimana bisa gue nikmatin jalan-jalan ini?
“Gimana menurut elo, Ratna? Asik nggak jalan-jalan di sini?”.
“Ehm, lumayan deh! Daripada pusing di rumah. Makasih ya, udah mau ngajakin gue ke sini”.
Galih hanya manggut-manggut nggak jelas.
            “Oya, Bunda elo nggak nyariin elo ya? Dari kemaren kan elo nggak pulang ke rumah. Apa elo nggak kangen ama Bunda elo? Pasti Bunda elo kesepian di rumah”.
“Kan ada Ayah. Jadi, meski gue di sini sama elo, Bunda masih ada temennya, Ayah. Nggak usah khawatir ya ama Bunda gue. Oya, Bunda gue itu juga Bunda elo kali. Kan sekarang elo adalah menantunya”.
            “Menantu? Sejak kapan? Aku kan belum menikah sama elo, Galih. Bagaimana bisa aku menjadi menantu Bunda elo itu?”.
“Ya mungkin sulit yah bagi elo nerima gue sebagai suami elo. Gue kan bukan tipe cowok ideal yang elo impikan. Apalagi kalo gue merasuk menjadi suami elo, pasti elo malah bingung. Tapi emang kita udah nikah”, kata Galih.
            “Akh, lupain tentang status kita. Gue nggak inget kejadian selama 2 minggu ini. Sepertinya gue emang udah amnesia. Apa elo punya bukti tentang pernikahan kita? Minimal foto atau video gitu?”
“Nggak ada. Kejadian itu begitu cepat. Pernikahan kita hanya dihadiri oleh keluarga kecil gue aja. Jadi, jelas nggak mikir untuk mendokumentasikan momentum pernikahan kita. Nggak sempet!”.
            Tiba-tiba ada seorang kakek yang jatuh. Gue dan Galih segera menolong kakek itu.
“Kakek nggak apa-apa kan?”, tanya Galih.
“Nggak apa-apa, Cu. Kakek Cuma kepleset batu kecil itu. Itu siapanya?”.
Kakek itu menunjukku.
“Oh, ini istri saya, Kek. Kami baru menikah”.
“Cu, kamu beruntung sekali punya suami seperti dia”, kata kakek itu.
“Iya Kek”, jawab gue.

PENOLAKAN GUE!!
*
            Udah beberapa hari ini, gue hidup serumah sama Galih. Beruntung dia nggak nyentuh gue. Soalnya gue emang nggak pernah yakin, kalo dia emang beneran suami gue. Selama tinggal di rumah gue, dia selalu tidur di sofa ruang tengah. Sejauh ini gue masih ngerasa aman. Tapi nanti, pasti lain ceritanya. Perang batin antara ketakutan dan pertanyaan yang nggak jelas, selalu menghantui gue.
            “Malam ini gue mau bobo sama elo!”, kata Galih.
“Sejak kapan elo di kamar gue? Keluar nggak?”, ancam gue.
Eh dia malah rebahan di kasur gue. Kurang ajar bener dah!
“Eits, kita kan udah jadi suami istri, masa bobonya masih sendiri-sendiri? Yang bener kan barengan. Yah seperti ini”.
            Sungguh menyebalkan!
“Galih, keluar lah dari kamar gue! Gue mau bobo sendirian. Jangan ganggu gue dengan kehadiran elo di kamar gue. Please, get out!”, teriak gue.
“Kalo gue nggak mau, gimana?”.
“Oke. Gue yang keluar dari kamar ini”.
“Yaudah, silakan!”.
            Gue terpaksa keluar dari kamar gue sendiri. Nyesek sekali jadi gue. Galih juga nggak ada prihatin-prihatinnya sama gue. Lagian kan gue yang mau keluar dari kamar gue. Akh, kok jadi kacau begini alur cerita gue sekarang. Masa gue kalah sama si Galih itu? Masa iya gue nggak berhak di rumah gue sendiri? Aneh!
**
            “Gue pasti bisa bobo di sofa ruang tengah. Sebelas dua belas deh ama kasur di kamar gue. Daripada tubuh gue lecek ama si Galih yang tak tau diri itu, ya mending gue nyari aman di sini!”.
Bantal gue taruh di pojokan sofa. Lalu gue rebahin tubuh gue ke sofa itu. Ya meski nggak seempuk kasur gue. Beda jauh itu pasti!
Tapi tunggu, sejam telah berlalu. Gue masih aja belum bisa mejamin mata gue. Tubuh sakit semua rasanya. Pegel gara-gara nggak bisa gerak bebas. Nyesek pake banget dah!
“Aish, Galih emang super nyebelin! Nelantarin gue sampe remuk begini! Gue harus rebut daerah kekuasaan gue. Kasur tersayang gue harus gue miliki lagi!”.
            Gue bergegas ke kamar gue. Si Galih sepertinya udah bobo. Betapa pulasnya dia! Enak sekali dia. Sementara gue harus menderita begini.
“Woi bangun! Jangan molor mulu!”, teriak gue.
Galih bangun juga.
“Udah pagi ya? Cepet amat. Tapi gue masih ngantuk, Ratna. Gue mau bobo lagi deh. Jangan ganggu!”.
“Apa? Mau molor lagi? Dasar kebo elo!”.
            Yups Galih bangkit juga dari kasur. Lalu mengamati jam tangan yang dipakainya.
“Ini masih jam sebelas. Kalo mau ribut, besok saja yah!”.
“Oh, tidak bisa! Gue nggak bisa bobo di sofa itu. Badan gue pegel-pegel semua. Sakit rasanya!”.
“Yaudah, barengan aja di sini. Nih kasur kan lumayan lebar. Pas kok buat kita berdua”.
“Enak di elo, nggak enak di gue!”, kata gue.
“Ya terserah elo”.
            Ikh, makin berani aja dia ngomong begitu. Paadahal selama ini, dia gue kenal sebagai cowok yang ramah. Kok begitu ternyata? Nggak nyangka banget!
“Oke, gue setuju! Tapi dengan satu syarat, harus ada pembatas guling”.
“Iya terserah deh! Gue mau bobo lagi yah. Elo diem aja kalo mau bobo di sini”, kata Galih.
Lalu dia molor lagi. Duh, nyebelin pake banget!
***
            Gue lagi nggak mood buat kuliah. Dari pagi ampe siang, menenangkan diri di perpustakaan. Bukan untuk baca buku, melainkan mikirin kelakuan Galih yang makin aneh menurut gue. Sepertinya emang perlu gue laporin ke Pak RT atau ke pihak Kepolisian. Tapi satu hal, gue juga takut kalo gue terbukti sebagai istri Galih yang sah. Kan namanya gue mempermalukan diri gue sendiri.
            Perang batin tengah berkecamuk di pikiran gue. Tiba-tiba kepala gue ketimpuk bola bekel.
“Arghh, siapa yang melakukan ini”, kata gue.
Di sekeliling gue emang nggak ada orang. Perpustakaan emang lagi sepi. Bulu kuduk gue sontak merinding. Siapa coba pelakunya? Nggak mungkin ada anak kuliahan yang masih maen bola bekel.
“Ish, serem nih! Kabur ahh...”, seru gue.
****
            Gue lari sekenceng-kencengnya. Nggak peduli kanan dan kiri gue siapa. Lari terus, menerjang badai ketakutan gue. Gubrakk!!
“Aduh, tangan kanan Alin sakit... !! Tante, tolongin Alin... ! Huahuahuaaaaa.....!”.
Yah, gue nabrak anak kecil lagi. Gawat pake banget. Nahloh, itu pasti tantenya nih anak. Haduh, gimana kelanjutan critanya? Aku pasti diomelin abis-abisan.
            “Bu, maafin saya. Saya nggak sengaja nabrak keponakan ibu. Sekali lagi, saya minta maaf”.
Ibu itu malah senyumin gue. Apa gue lucu ya? Atau malah berakhir amarah yang tak bisa gue duga. Aish, takut pake banget!
“Maaf ya, Bu. Saya benar-benar menyesal. Tolong dimaafkan”, pinta gue.
            “Bunda, kok ada di sini?”, seru Galih.
“Iya, Bunda hanya ingin memastikan bagaimana keadaanmu, Galih. Bunda mencemaskanmu. Kamu sehat?”.
“Seperti yang Bunda lihat. Galih sehat banget, Bunda. Kan ada istri tercinta yang senantiasa menjaga hati Galih”.
“Ibu percaya padamu!”.
            “Ratna, kau baik-baik saja kan? Masa kau lupa sama Bunda?”.
Galih menginjak kaki gue. Seakan memberi isyarat kalo gue harus menjaga rahasia.
“Iya Bunda, Ratna sedikit lupa. Pangling dengan kecantikan Bunda. Iya, karena itu”, kata gue.
Galih mendekap gue.
“Kami adalah sepasang suami istri yang tengah berbahagia, Bunda. Sebentar lagi akan ada penerus keluarga kita, Bunda. Cucu”.
            Gue pingin berontak kalo liat Galih yang sok imut gitu. Iya cakep, tapi bagi gue tetep aja nyebelin.
“Syukurlah kalo kalian mau cepet-cepet usahain kehadiran cucu buat Bunda. Bunda pasti seneng banget. Oya, si Alin kangen sama kamu, Galih. Makanya Bunda ajak dia ke sini”.
“Bunda, maaf ya. Gara-gara saya, Alin terluka”.
“Iya, nggak apa-apa kok. Emang si Alin juga salah. Lari-larian di tengah jalan kok!”.         
*****
            Bertemu dengan Bunda adalah sesuatu. Gue seneng dengan kata-kata bijaknya. Yah, serasa ada sosok ibu yang kian lama gue dambakan.
“Hei, melamun aja dari tadi! Kenapa?”.
“Galih, Bunda elo tuh baik banget ya?”.
“Iya dong. Baik banget orangnya! Makanya gue sering kangen ama Bunda. Bunda itu nyenengin dan bikin suasana selalu berwarna”.
            “Andai aja gue masih punya Bunda ya? Pasti hidup gue lengkap sudah!”.
“Kenapa mesti sedih. Kan Bunda gue itu, udah sah jadi Bunda elo juga. Gimana sih”.
“Ya kalo elo nikahin gue, pasti perkataan elo itu bener seratus persen!”.
“Seribu persen kalo gue emang suami elo!”.
Kami berpelukan layaknya personil teletubbies.
“Akh, elo manfaatin kesempatan dalam kesempitan ya? Gue nggak nyangka banget!”.
“Idih, elo aja yang nggak betah dengan seksinya gue. Ya kan, Ratna?”.
Oh My God! Pede banget sih elo ini!”.
“Emang. Sini deketan ama gue!”.
            Gue terus menghindar.
“Gimana kalo sekarang kita adu kekuatan? Gue udah kepengen banget loh! Mau ya?”.
“Nggak!”.
“Ayolah....”.
“Ikh, nggak banget deh!”.
“Mau ya?”.
“Nggak!”.
“Sekarang ya?”.
“Apa sih? Sekali nggak, ya tetep nggak mau!”.

GUE KESEPIAN PAKE BANGET!!
*
            “Udah siap belum? Gue mau nganterin elo ke kampus, sebelum ke rumah Bunda”, kata Galih.
Gue masih asik ber-make up ria.
“Aish, dasar cewek ya? Dandan mulu kerjaannya!”.
Gue angkat bicara.
“Yaudah sih, emang ciri khas cewek ya dandan gini. Lo nggak suka? Masalah buat elo? Gue bisa kok berangkat sendiri!”, kata gue.
            “Iya istri gue yang bawel.....”, seru Galih.
“Siapa juga yang mau jadi istri elo? Gue masih gadis kali.... Belum siap tuh jadi istri elo!”.
“Cape deh. Ayolah buruan! Mumpung ada yang mau nganterin, harusnya elo bersyukur! Coba kalo gue nggak perhatian ama elo, gue di rumah Bunda terus, elo gimana?”.
“Bagus dong kalo elo di rumah Bunda. Emang harusnya aku sendirian di rumah ini. Tanpa elo dan bayangan elo”.
“Kata-kata lo itu ancaman buat gue. Oke, nanti gue akan nginep di rumah Bunda. Lo jangan sedih ya selama gue tinggal sendiri di rumah ini”.
“Hahahahahaa.... Sip. Nggak ada kata sedih. Lo mau ngapain aja juga no problem!”.
“Termasuk selingkuh juga?”.
“Galih, elo kan playboy, jadi up to you aja deh! Gue mah nggak mau ikut campur masalah elo!”.
**
            Suasana kampus masih sepi pake banget. Gue sendirian aja.
“Eh Ratna Galih, kenapa manyun sendirian di sini? Gue pikir lo kondangan ke rumah Susan. Kagak tau apa males sih lo?”.
“Ah elo Johan! Ngagetin gue aja sih. Emang bener Susan mau merid? Sumpah, gue nggak tau apa-apa. Abisnya gue nggak dapet undangan sih”.
“Bener. Tapi dia nggak nyebar undangan”.
            “Yah lumayan kalo temen-temen sekelas kita udah pada nikah. Giliran kita aja yang belum. Kapan yah gue nikah?”.
“Bukannya elo udah nikah, Ratna? Noh, si Galih elo anggep apa?”.
“Galih? Kapan gue nikah?”.
“Dua minggu yang lalu. Tapi gue nggak liat secara live. Cuma dapet kabar dari Galih aja”, kata Johan.
            “Kok bisa gue nikah sama Galih?”.
“Ya karena kalian itu saling mencintai. Baru-baru ini aja kalian nyadar, trus langsung nikah deh!”.
“Tapi gue nggak ngerasa nikah ama Galih, Johan?”.
“Lah, ini mana yang bener? Masa Galih ngibulin gue? Elo juga nggak mungkin bo’ongin gue. Hadeuh, gue jadi makin bingung. Yaudah, gue cabut dulu yah! Kalo lama-lama di sini, bisa mati kejang gue”.
            Johan udah kena kibulan si Galih. Jurus apa seh yang dipake Galih untuk mempengaruhi Johan? Atau jangan-jangan Galih nyebarin berita nggak bener ini ke semua orang? Bahaya pake banget!
“Gue nggak akan biarin Galih nyebarin berita kebohongan ke semua orang! Gue harus segera bertindak! Tapi gimana caranya?”.      
***
            Yah bener, Galih nggak pulang ke rumah gue. Syukur deh kalo nggak serumah lagi sama gue. Palingan juga balik tuh ke rumah Bunda. Tapi satu hal, gue jadi kesepian. Nggak ada lagi yang gue omelin. Nggak ada lagi acara berantem-beranteman yang biasanya gue lakuin bareng Galih. Kini gue sendirian. Rumah gue jadi sepi pake banget.
            “Galih, andai elo di sini. Pasti sekarang kita lagi berantem. Atau kalo nggak, kita rebutan remote TV. Ehm, kita timpuk-timpukan bantal ampe keluar kapuk-kapuknya. Atau kita... Akh ngapain sih gue inget-inget si Galih. Kan gue jadi kangen ama dia. Sejahat-jahatnya dia bikin gue kesel dan cape hati, tetep aja dia bikin gue kesepian kaya gini. Arghh, gue kangen elo....’.
            “SMS aja deh! Jangan deh, nanti dia pikir gue kangen banget ama dia. Eits, tapi nggak ada salahnya kalo gue dapet kabar dari dia. SMS? Nggak? SMS? Nggak? SMS aja deh!”.
SMS dikirim. Tapi nggak dibales.
“Mungkin lagi sibuk. Jadi nggak sempet bales. Biar aja deh. Gue mau istirahat aja. Besok pasti ada kabar dari dia”.
            Susah banget buat mejamin mata. Rasa kantuk pun sebenarnya nggak ada. Apa gue udah kena sindrom amnesia? Parah banget!
“Galih, gara-gara lo nggak ada kabar, hidup gue jadi salah tingkah begini. Tapi tunggu, nggak etis juga kalo gue salahin si Galih. Dia juga nggak berhubungan langsung ama perasaan gue sekarang! Gue, gue, dan gue harus segera bobo. Cape kalo inget si Galih terus”
****
            Ketemu Bono dan Hendra di gapura kampus.
“Hai Bono, hai Hendra...!”, sapa gue.
“Hei juga Ratna Galih.....!”, jawab mereka barengan.
“Owh, kompak juga yah kalian ini. Tapi nama gue Ratna aja. Nggak pake akhiran Galih. Dicatet tuh!”.
“Loh, kan suami lo namanya Galih. Jadi, nggak ada salahnya juga”, kata Hendra.
“Hu’uh. Masih syukur lo bisa nikah ama Galih. Sebelum ama lo, Galih itu udah digosipin mau nikah ama cewek Belanda. Beruntung kalo dia udah jadi milik lo”, kata Bono.
            Gue ketawa ngakak.
“Kenapa?”, tanya Bono.
“Nggak. Cuma lucu juga omongan elo, Bon. Kalian ini udah kemakan gosip yang disebar si Galih. Pake percaya kalo gue ini istrinya Galih”.
Bono dan Hendra berpandangan.
“Kok bisa begitu, Bon?”, tanya Hendra pada Bono.
“Lah, gue nggak tau!”.
            “Hei kalian, ada yang liat Galih nggak? Dari tadi gue belum nemu tuh orang. Siapa tau kalian liat Galih. Ada yang liat nggak?”, tanya gue.
“Noh, masih di kelas. Ya, bentar lagi juga balik tuh orang! Tunggu aja”, kata Hendra.
“Yuk kita pulang, Hen. Gue mau siap-siap buat malem mingguan ama pacar gue!”, kata Bono.
“Yuk dah! Rat, kita cabut ya. Sabar aja nungguin Galih sendirian”, kata Hendra.
            Galih muncul di hadapan gue.
“Eh istri gue ada di sini. Owh, pasti nungguin suami tercinta ini. Hahaha...”, seru Galih.
“Seneng banget yah elo itu. Kenapa? Atau karena ini malem Minggu, jadi otak lo perlu diobatin? Iya?”.
“Iya dong. Obat hati sangat diperlukan. Tapi sayangnya, gue lagi nggak butuh saat ini”.
            Ish, miris pake banget! Gue jadi kecewa dengan omongan Galih. Ini artinya gue emang nggak dibutuhin. Obat hati dia itu belum tentu gue juga kali.
“Maaf, gue masih betah tinggal di rumah Bunda. Jadi baik-baik yah di rumah sendirian. Elo sih, gue ajakin nggak pernah mau. Jadi kesepian kan di rumah”.
“Nggak lah. Gue udah biasa sendiri. Ada ataupun tanpa elo itu sama. Elo di sana kan bagus buat gue!”.
            “Ya kan gimana pun juga, elo itu istri gue. Gue wajib jagain elo. Besok deh, gue balik ke rumah elo lagi. Nggak apa-apa kan?”.
“Jangan balik deh. Kan elo udah punya rumah sendiri. Ngapain ke rumah gue lagi. Apa-apaan nyebut gue istri elo? Gue nggak punya suami, orang gue belum nikah! Weee...”.
“Kumat amnesianya!”.
“Ngawur!”.
*****
            Malam kedua gue sendirian di rumah. Emang sih biasanya gue selalu sendiri. Tapi rasanya pingin nangis aja kalo keinget ama Galih. Kangen ama dia.
“Ehm, nggak apalah gue sendiri. Ngapain juga masih mikirin Galih. Nanti gue cinta beneran ama dia. Nggak mau deh punya perasaan ama dia. Dia itu kan keren, yang pasti banyak yang suka ama dia. Kalo gue suka, bahkan cinta ama dia, gawat pake banget!”.
            Gue lanjutin ngerjain tugas dari Pak Surya. Dosen Bahasa Inggris yang paling kece menurut gue.
“Nggak susah-susah amat ngerjain nih tugas. Tapi yang paling susah menurut gue adalah ngatur pernafasan perasaan gue. Lah, bahasa gue kok aneh kaya gini? Bukan! Maksud gue ngendaliin pola pikir gue yang masih berantakan. Akh, ribet deh ngomongnya!”.
            Tugas telah gue selesain.
“Nih tugas harus dapet nilai A. Gue ngerjainnya udah maksimal pake banget, sepenuh hati pake banget, dan abis-abisan pake banget juga! Awas aja kalo nggak dapet nilai A!”.
Saatnya nonton TV. Gue kan perlu hiburan juga. Otak gue perlu yang namanya refreshing.
            Gue liat sesuatu di sudut sofa ruang tengah.
“Oh, ini ternyata cincin! Tapi punya siapa? Perasaan nggak ada tamu sejak beberapa minggu ini. Kecuali Galih. Ehm, seperti cincin gue bentuk dan modelnya. Namanya Ratna. Ini berarti punya gue kan? Tapi tunggu, tunggu, dan tunggu. Trus cincin di tangan gue ini pemberian siapa? Coba gue liat deh. Jangan-jangan ada namanya juga”.
            Gue shock ngeliatnya.
“Bertuliskan Galih. Ini ceritanya gimana sih? Masa gue ama Galih tukeran cincin? Atau emang gue dan dia ada hubungan spesial? Ikh, nggak mungkin! Gue nggak mau menjalin hubungan dengan siapa-siapa dulu. Tapi kok bisa cincin ini menakuti gue? Aish, gue udah dimiliki si Galih maksudnya? Oh jangan! Gue nggak mau sama sekali. Nggak mau!”, teriak gue.

PERHATIAN PAKE BANGET!!
*
            “Ratna..., lo dimana? Gue pulang nih!”, seru Galih.
Gue tetep meringkuk di kasur.
“Loh, kok nggak dijawab. Udah siang ini, masa masih molor. Libur tuh jangan dibuat males-malesan. Mending lo bangun deh. Kita jalan-jalan yuk!”.
Gue nggak nanggepin omongan Galih. Badan gue lemes banget.
            “Hei, apa yang terjadi? Elo sakit? Ya Tuhan, badan lo panas banget ini. Ayo kita ke dokter. Gue takut elo kenapa-napa”.
Galih menggendong gue. Mau dibawa kemana gue?
“Gue nggak apa-apa kok. Sedikit pusing aja”.
“Jiah, enteng banget lo ngomong. Elo itu sakit. Udah deh, diem aja. Nurut ama suami”.
“Tapi...”.
“Sudahlah. Gue sayang elo. Untuk saat ini, jangan larang gue untuk nganteri elo ke dokter!”.
            Ya Tuhan, apakah benar Galih itu suami gue? Apakah benar dia? Kalopun iya, akh betapa senangnya gue! Siapa sih yang nggak mau punya pasangan jiwa yang perhatian pake banget seperti Galih? Gue juga mau pake banget! Gue sedih atas sakit ini yang dateng secara tiba-tiba. Di sisi lain, gue juga seneng banget bisa diperhatiin begini. Sebenernya gue nggak butuh-butuh banget ke dokter. Dengan begini, sebentar lagi gue juga bakal sembuh.
**
            “Maaf, dengan Nyonya siapa?”, tanya dokter.
“Saya Ratna, Dok!”, jawab gue dengan lesu.
“Lalu Anda suami Nyonya Ratna?”.
“Iya Dok! Bagaimana keadaan istri saya, Dok? Apakah terjadi sesuatu padanya?”.
Dokter itu tersenyum manis. Terlihat semakin cakep.
“Nyonya Ratna ini cuma sedikit kecapean. Hal inilah yang membuat dia lemas dan tak berdaya sekarang. Saya sarankan Anda sebagai suaminya, jangan biarkan Nyonya Ratna terlalu banyak aktivitas”.
            Gue nggak punya kesempatan untuk ngomong.
“Lalu gimana dengan kesuburan istri saya, Dok?”.
Emang gue taneman apa?
“Sejauh ini masih subur-subur saja. Asal rajin-rajin dipupuk!”.
Lah, si Dokter pandai ngelawak juga.
“Nyonya Ratna ini kan masih lumayan muda juga. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan”, kata dokter itu.
“Ooo.. gitu ya, Dok. Saya faham sekarang”.
            “Makasih ya, Dok. Kalo begitu, kami permisi dulu”, kata gue.
“Iya sama-sama”.
“Selamat siang, Dok!”, kata Galih.
“Selamat siang juga. Hati-hati ya..!”.
Kami segera berlalu dari ruang praktek dokter. Lalu menuju apotik untuk menebus obat sesuap dengan resep yang diberikan dokter itu.
***
            Sampai di rumah lagi.
“Sekarang istirahatlah! Gue akan di sini jagain elo sampai sembuh”, kata Galih.
“Kalo gue udah sembuh, lo mau pergi lagi? Elo mau ninggalin gue?”.
“Ya nggak lah. Gue akan tetep di sini. Jagain elo. Selamanya”.
Gue jadi nangis dah.
            “Eh kenapa nangis?”.
“Gue tuh pingin banget kalo nanti punya pendamping hidup seperti elo. Pingin pake banget!”, kata gue sambil sesenggukan.
“Iya. Gue sekarang emang udah jadi suami elo, Ratna. Nggak ada yang dipinginin lagi. Pinginmu itu udah jadi kenyataan”.
“Ikh, nyebelin! Tetep nggak percaya!”.
            “Tuh kan, mulai deh amnesianya! Gue ngomong ini nggak percaya, ngomong itu juga tetep nggak percaya. Hadeuh, gue mesti ngomong apa lagi?”.
“Setidaknya omongan elo itu ada bukti. Nah, setelah itu gue pasti percaya. Buktinya mana?”.
Galih kayanya lagi mikir. Dia pasang ekspresi seorang ilmuwan gara-gara serius mikir. Mikir keras!
            “Ada sih bukti, cincin. Lah, cincin gue mana? Kok tiba-tiba ilang? Aduh kacau! Tanda cinta kita musnah gitu aja!”, seru Galih yang panik.
Gue ambil cincin yang gue temuin waktu itu. Gue tunjukin ke Galih. Raut mukanya jadi girang.
“Nah, itu cincin gue! Jadi elo yang nyimpen! Makasih sayang...!”, teriak Galih.
Bisa-bisanya dia memeluk gue kaya gitu. Nyari kesempatan banget!
            “Inilah tanda cinta kita. Ini bukti yang nyata bahwa kita adalah sepasang suami istri yang tengah dimabuk cinta, dimabuk asmara”.
“Gue tetep nggak percaya. Bisa jadi kita masih dalam hubungan pacaran. Karena elo cinta banget sama gue, elo ngaku-ngaku jadi suami gue. Jangan manfa’atin amnesia sejenak yang gue alami ini!”.
Galih menghela nafas.
****
            “Bangun, Ratna! Gue udah masakin bubur nih buat elo. Sarapan dulu ya. Biar elo cepet sembuh”, bisik Galih.
Gue masih lemes aja dari kemaren.
“Sarapan yah! Sini, gue suapin!”.
Nyawa gue belum ngumpul. Kepala gue juga masih pusing pake banget!
“Ayolah, dibuka matanya! Jangan males gitu!”.
Ikh, ngebangunin atau ngatain gue sih?
            “Iya gue bangun! Tapi jangan bilang gue males ya? Gue tuh masih pusing pake banget! Nyawa gue juga belum ngumpul. Wajarlah kalo masih lemes kaya gini. Bangun-bangun masa langsung disuruh sarapan? Mana bisa guenya?”.
Galih tertawa ngakak. Padahal menurut gue nggak ada yang lucu. Justru gue yang geram liat kelakuan dia. Bisa-bisanya ya ngetawain gue yang terbujur lemas tak berdaya gini.
            “Iya gue tau kok. Orang gue mau ngelap muka lo juga kok. Lusuh banget tuh kaya kertas lecek! Hahaha....!”.
“Ikh, Galih nyebelin. Selusuh ini, tapi nggak memudarkan kecantikan gue! Enak aja lo!”.
Galih mengelap muka gue, tapi masih tertawa ngakak. Sepertinya gue ini adalah lelucon gratis baginya. Apalah itu, perhatiannya itu sungguh bernilai bagi gue. Makasih yah!
            Galih nyuapin gue. Uhh, nggak bisa berkata-kata lagi deh gue! Kebius ama perhatiannya itu loh. Aduh, hati gue serasa bernyanyi.
“Enak kan bubur buatan gue? Ini resep dari Bunda loh!”, kata Galih.
Gue manggut aja. Lumayan enak sih.
“Enak nggak? Kok nggak meyakinkan gitu kayanya”, tanya Galih.
“Lumayan enak! Orang sakit mana tau rasa yang enak. Seenak apapun nih bubur, tetep aja rasanya hambar di lidah gue!”.
            “Ya kan gue udah bersusah payah buatnya. Masa nggak dihargain sih”.
“Iya gue hargain! Mau dihargain berapa emangnya?”, tanya gue.
“Aish, apa elo nggak masuk pas pelajaran Bahasa Indonesia?”.
“Ikh, itu sih pelajaran tebak-tebakan. Udah ah, buburnya nggak enak! Obat gue mana? Kepala gue udah cenut-cenut nih! Tambah pusing kalo ngomong sama elo”, kata gue.
*****
            “Halo, Riri! Ini Galih. Kan Ratna nggak masuk kuliah, ada tugas nggak?”.
Lalu Galih terlihat mencatat sesuatu.
“Oh itu aja. Trus selama dia nggak masuk, ada perkembangan informasi apa aja? Ya kan elo tau sendiri, siapa gue”.
Galih melirik gue sebentar.
“Oya, makasih ya Ri. Lain waktu gue hubungi elo lagi”.
            Galih menghampiri gue yang masih terbaring di kasur.
“Si Riri bilang, ada tugas tuh!”
 “Gue masih lemes, nggak bisa kerjain tugas. Nanti aja kalo gue udah bener-bener sembuh.”
“Trus katanya Puri mau merid ama Joni.”
“Mereka jadi merid? Wow, di kelas gue makin dikit dong yang single. Termasuk gue!”
            Galih menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Diiyain aja deh biar cepet kelar masalahnya. Mau dilurusin tetep aja bengkok!”.
“Maksud lo apa? Daripada nggak jelas gitu, kan lebih baik lo kerjain tugas gue. Nganggur kan lo?”.
“Oke, oke.”
“Nah, gitu dong. Kan gue jadi seneng. Gue jadi semangat lagi!”.
            Yes! Tugas gue dikerjain juga ama si Galih. Lumayan deh!
“Yang bener ya ngerjainnya. Jangan ampe salah! Kalo nilai gue jelek, maka elo yang gue tuntut!”.
“Iya bawel! Udah deh, istirahat aja elunya! Jangan ganggu konsentrasi gue yang lagi serius mikir.”
“Oke. Gue maunya semua beres. Kelar. Nilai bagus. Seneng deh gue. Hahahaa.....!”.

JADI DIEM PAKE BANGET!!
*
            “Eh, elo udah hamil belum sih? Kan udah sebulan lewat ya pernikahan lo ama Galih.”, tanya Luki.
“Iya, bagi-bagi cerita dong ke kita-kita!”, seru Meike yang penasaran pake banget mukanya.
“Akh, Ratna nggak asik nih. Nggak mau crita ke temen sekelasnya. Cerita dong...!”, kata Febi.
Yang lain ikut membujuk gue.
            “Nggak ada cerita apa-apa kok tentang gue. Hidup gue serba datar. Kalian nanyain gue hamil? Gue aja tetep nggak yakin kalo Galih tuh suami gue. Jadi nggak akan pernah gue hamil!”.
“Hust, jangan ngomong gitu. Galih itu emang suami elo. Masa nggak percaya sih. Iya sih, kita-kita nggak liat secara langsung pernikahan kalian. Kan nyokapnya Galih yang cerita kalo kalian udah nikah!”, kata Meike.
            Riri masuk kelas.
“Woi, lagi meeting apaan nih? Kayanya serius banget deh! Ngegosipin Riri ya?”, seru Riri.
“Huuuu........!”, teriak semuanya kecuali gue dan Riri.
“Biasa aja kali....”, kata Riri kecewa.
“Ri, Galih dan Ratna udah nikah kan ya?”, tanya Luki.
“Hu’uh! Ini ciyus loh!”, jawab Riri.
“Nggak mungkin!”, teriak gue.
            “Loh, kenapa nggak mungkin, Sayang?”, tanya Riri.
“Sayang apaan! Gue nggak mau nikah muda gini. Karir gue nanti akan sia-sia kalo udah nikah.”
“Emang elo udah nikah! Trus gue mesti bilang apa lagi?”, kata Riri.
Semua nyudutin gue. Nggak ada yang belain gue. Satupun tak ada. Nyesek gue!
**
            “Kenapa Ratna? Bukannya elo masih ada kelas? Kok manyun di sini!”.
“Bukan urusan elo! Gara-gara elo, hidup gue hancur. Elo udah ngancurin semuanya. Gosip yang lo edarkan itu telah membunuh gue! Puas lo?”.
“Hidup lo hancur? Gosip? Membunuh elo?”.
“Stop! Gue nggak mau denger apa kata lo lagi! Nyesek gue dengan semua ini!”.
            Galih ninggalin gue sendiri.
“Pergi sana kalo elo mau pergi!”, teriak gue.
Selvi dan Roro nyamperin gue.
“Galih lo apain? Mukanya ampe asem gitu. Nggak ramah lagi ama kita-kita”, kata Roro.
“Lo omelin ya?”, bisik Selvi.
“Nggak!”, kata gue.
            “Eh ada apa ini?”, seru Luki.
“Nggak kok. Kita cuma nanyain kabar si Ratna aja. Apa salah? Apa kita kena sanksi dari Mr. Luki Alisyahbana?”, kata Selvi.
“Bener gitu, Rat?”, tanya Luki.
Gue cuma ngangguk.
“Cabut yuk, Ro. Udara di sini udah nggak steril lagi! Bisa iritasi kulit gue!”, kata Selvi.
            “Luk, gue bingung harus gimana lagi. Galih udah bikin semua orang percaya dengan status palsunya. Tolongin gue, Luk! Gue nggak tau lagi harus percaya sama siapa?”.
Luki memeluk gue.
“Tenang ya Ratna. Gue tau ini masalah yang krusial, berat, dan menguras pikiran elo. Tapi satu hal, ini benar adanya. Bukan rekayasa Galih!”.
            “Jadi elo belain Galih? Lah gue siapa yang belain? Gue takut, Luk. Nikah muda itu adalah sesuatu yang gue hindari. Orang bilang gue udah nikah. Gue nggak ngrasa udah nikah. Gue harus gimana, Luk?”.
“Trima kenyataan, Rat! Nggak terlalu buruk juga kan kalo elo jadi istrinya Galih. Bukankah cewek-cewek di kampus ini mendambakan si Galih. Galih udah jadi milik elo. Trus elo kenapa bersedih hati?”, tanya Luki.
            “Galih terlalu sempurna. Karena itulah gue nggak percaya kalo dia jadi suami gue. Apa lagi terlalu mudah dapetin dia. Rasanya itu sesuatu yang mustahil.”
“Eh, nggak ada yang mustahil selama Tuhan menghendaki.”
“Hu’uh. Gue tau itu kok.”
“Yaudah, yuk kita ke kelas!”, ajak Luki.
***
            Makan malam udah gue siapin.
“Galih, makan yuk! Gue udah masak yang spesial nih!”, seru gue.
“Nggak deh, makasih! Gue udah kenyang.”
“Loh kok?”
“Udah ya, gue capek! Gue mau istirahat. Jangan ganggu!”.
“Tapi kan...”
Galih udah menghilang dari hadapan gue.
            Terpaksa nyusul Galih yang tiduran di sofa.
“Galih....”
“Apa?”
“Makan yuk!”
“Makan aja sendiri! Gue masih kenyang.”
“Ayolah, sedikit aja! Masa elo tega liat gue merana gini. Kan sayang kalo masakan gue ditelantarin gitu aja.”
“Yaudah, makan aja sana!”
            “Lo kenapa sih? Marah sama gue ya? Ya gue tau kalo gue banyak salah sama lo. Tapi jangan siksa diri lo untuk tidak makan. Makan ya....”
“Gue kesel nih. Jangan ganggu deh!”
“Galih, ayolah makan!”
“Diem nggak? Berisik banget deh!”
Astaga! Galih serem pake banget!
            “Yaudah, gue mau makan sendiri. Terserah kalo elo nggak mau makan. Gue udah baik hati ya mau nawarin elo. Kalo elo marah, yaudah! Emang kalo elo marah begitu, gue jadi peduli sama lo? Oh tidak bisa! Gue makin cuek sama lo!”.
Segera menghilang dari hadapan Galih adalah cara yang terbaik.
****
            Pagi-pagi udah ada tamu. Itu Riri.
“Ada apa, Ri?”, tanya gue.
“Gue ada perlu sama Galih. Dia ada? Oya lupa, pasti ada. Ini kan rumah Galih juga. Kan Galih suami elo. Hahahaa.....”, seru Riri.
“Diem! Mulai lagi tuh omongan nggak bener. Nyimpang dari realita tuh!”
“Galih ada nggak?”
“Tau.”
            “Jah, mulai nggak beres lagi nih!”, kata Riri.
Galih muncul.
“Ini dia! Galih, gue ada perlu sama lo.”
“Apa?”
“Sini deh, gue bisikin!”
Itu artinya, gue nggak dilibatin.
“Oke. Tapi gue siap-siap dulu ya?”
“Galih, bukannya elo harus nganterin gue ke klinik?”
“Sendiri aja ya. Gue ada urusan penting!”.
            Pingin nangis deh gue! Tapi air mata nggak bisa keluar. Yang ada hanyalah sesak di dada yang tak tertahankan. Nyesek pake banget!
“Lo kenapa, Ratna? Galih gue pinjem bentar. Ada urusan penting nih.”
“Iya Ri. Terserah elo aja. Galih juga bukan siapa-siapa gue. Nggak ada masalah kok.”
            “Udah siap, Ri. Yuk ke TKP!”, ajak Galih dengan semangatnya.
“Galih.”, panggilku.
“Berangkat sendiri ya. Gue nggak bisa. Ayo Ri!”, kata Galih.
“Ratna, kita...”, kata Riri.
“Iya. Sampai jumpa!”, kata gue.
Ekspresi Galih cuek sama gue. Tetapi riang kalo sama Riri. Sedih.
*****
            “Luk, gue mau cerita.”
“Cerita apa?”
“Soal Galih.”
“Ow, kenapa?”
“Dia udah nggak perhatian sama gue lagi. Gue dicuekin mulu. Dia jadi beku. Karakter asli dia hilang kalo berhadapan sama gue. Beda banget dia!”
“Lalu?”
            “Gue kangen sama Galih yang lama. Galih yang selalu usilin gue, ngajak gue ribut, dan...”
“Itu dia!”, seru Luki.
Gue kaget.
“Elo itu sebenernya butuh Galih. Tapi kadang elo sendiri yang menyatakan dengan tegas kalo elo nggak butuh Galih.”
“Gitu ya?”
“Bisa dibilang begitu!”.
            “Trus gue harus gimana?”
“Turuti kata hati lo! Gue sih nggak berani kasih saran macem-macem. Kan kalian udah gede ya. Bisa tuh cari jalan keluar sendiri. Dan pikirkan, elo dan Galih itu udah nikah. Jadi jangan kaya anak kecil lagi. Bersikaplah lebih dewasa.”
“Iya deh. Meski sulit, gue akan berusaha nerima.

SADAR PAKE BANGET!!
*
            Kedatangan Bunda merubah segalanya.
“Rat, apa kamu udah isi?”, tanya Bunda.
“Isi apa ya Bunda?”, tanya gue.
“Hamil.”
“Belum Bunda.”
“Buruan dijadiin lah. Nggak sabar ini pingin nimang cucu.”
Gimana mau jadi, ngelakuin aja beluman. Ups!
            “Suamimu kemana?”.
“Beli obat ke apotek, Bunda.”
Padahal gue nggak tau. Ngasal aja.
“Oya, Ayah kok nggak ikut ke sini, Bunda?”
“Ayah ke luar kota. Masalah bisnis. Makanya Bunda maen ke sini.”
“Oh begitu.”
            “Eh ada Bunda.”, seru Galih.
“Suamiku, dari mana sih kamu?”, kata gue.
Galih tertegun liat gue.
“Dari apotek ya? Tapi kok nggak bawa obat?”
“Obat?”
“Kata Ratna, kamu ke apotek beli obat.”
“Oh iya, Bu. Tapi apoteknya lagi nutup. Nggak jadi beli deh.”
            “Suamiku, mau minum apa? Kopi, susu, teh, atau soda?”
“Ha? A..apaan aja deh!”
“Gimana kalo kopi susu campur mocca. Mau nggak?”
“Iya boleh.”
“Bunda mau Ratna bikinin teh lagi?”
“Oh nanti aja!”, kata Bunda.
Gue segera beralih ke dapur. Galih ngikutin gue.
**
“Eh, tumbenan elo sok baik sama gue?”, tanya Galih.
 “Entahlah. Aku akan berusaha jadi istri yang baik bagimu! Nggak ada kata elo dan gue lagi. Yang ada kamu dan aku. Mengerti?”
“Gue, eh aku. Aku masih nggak ngerti.”
“Galih, mulai sekarang aku akan mempercayaimu. Aku akan jadi istrimu yang baik. Ya meski aku nggak inget sama sekali.”
“Makasih ya!”.
            Galih meminum kopi susu mocca buatanku.
“Boleh aku tanya satu hal?”
“Silakan!”
“Kenapa aku bisa amnesia? Tolong ceritakan! Aku berhak tau.”
“Mau tau aja atau mau tau banget?”
“Mau tau banget!”
“Hmm, gitu yah!”
            Galih kayanya lagi mikir. Mungkin banyak hal yang akan dia ceritakan padaku. Entahlah.
“Seseorang yang melakukan itu padamu. Dia ingin mencelakaimu!”
“Dia siapa?”
“Selvi.”
“Dia kan emang mantan pacar kamu sebelum jadian sama aku kan?”
            Galih menghabiskan kopi susu moccanya.
“Aku diapain dia?”
“Dipukul pake kayu. Kejadian itu cepet banget.”
“Trus kamu biarin dia lolos gitu aja?”
“Nggak. Dia dibebasin papanya. Tau sendiri kamu. Dia anak pejabat.”
“Tapi aku bisa sembuh kan?”
Aku meratap sedih.
            “Pasti bisa!”
Kami berpelukan. Beban di hatiku sedikit mulai pudar. Terima kasih, Galih!
“Oh, rupanya kalian sedang mesra-mesraan di dapur. Pantesan aja lama banget!”
“Eh Bunda. Nggak kok!”, kata Galih.
“Terusin lagi ya. Bunda mau pulang.”
“Bunda mau Galih anterin?”
“Nggak usah! Naik taksi aja udah cukup!”, jawab Bunda.
***
            Aku dan Galih berangkat bareng ke kampus.
“Wow, kalian baikan nih ceritanya? Seneng dah gue ngeliatnya!”, seru Luki.
“Makin mesra aja!”, sahut Mario.
“Ngiri dah gue!”, kata Deni.
Slow motion Guys! Makanya buruan nikah dong kaya aku dan Ratna!”, kata Galih.
“Yo’i”, kataku.
            Riri datang dengan nafas tak beraturan.
“Aduh, capek banget! Belum dimulai ya kuliahnya?”, tanya Riri.
“Belum. Tapi ngapain kamu ngos-ngosan kaya gitu? Dikejar anjing?”, tanyaku.
“Kagak! Gue takut telat!”, jawab Riri.
Riri celingukan.
“Ada sesuatu nih!”, kata Luki.
            Muncul sosok Roro dan Selvi yang berlarian ke arah kami.
“Woy, Riri! Jangan kabur lo!”, teriak Selvi.
“Kejar terus, Sel!”, teriak Roro.
Ada apa ini?
“Kabur.....!”
Aku dan yang lainnya hanya terpaku bingung melihat aksi lucu Riri yang dikejar Roro dan Selvi.
            “Kenapa bisa selucu ini sih?”, kata Deni.
“Hust, kasianlah si Riri.”, seru Mario.
“Cieee,,, Mario peduli sama Riri.”, kataku.
“Jadianlah!”, kata Galih.
“Ogah!”, seru Mario.
“Kenapa? Riri kan putih pake banget! Secara, mulus gitu loh!”, kata Deni.
“Subur pake banget juga!”, seru Mario.
            “Loh, pertunjukan udah selesai ya? Pada ngilang mereka?”, kata Luki.
“Guys, aku dan Ratna mau ke kelas dulu ya?”, kata Galih.
“Kan kelas kalian beda? Jurusan beda juga!”, kata Mario.
“Yah, mampir ke kelas Ratna dulu. Baru deh ke kelas sendiri.”, kata Galih.
****
            Memasuki kelasku.
“Cieee, mesra banget kalian...!”, seru Irma.
“Makasih.”, sahutku.
Kami mencari tempat duduk yang kosong.
“Kenapa? Kamu sakit?”
“Duh, aku kok jadi canggung gini ya. Deg-deg-gan deh jantungku.”, jawabku.
“Wajar kalo deket orang ganteng! Hahahaaaa....”
So please, nggak usah memuji diri sendiri gitu lah... Aku tau banget kamu ekstra ganteng. Tapi sayangnya kamu emang pake banget. Gantengnya....!”, bisikku.
            “Kok pelan?”
“Ya, biar nggak ada yang denger!”
“Kan aku denger! Gimana?”
Never mind! Oya, kamu nggak ke kelasmu, Sayang?”
“Bentar lagi aja!”
“Keburu Pak Fajar datang loh!”
“Ya nggak masalah. Pak Fajar ngertilah. Suami mau jagain istri masa salah?”
“Ya tapi...”
            “Eh Galih, lo nggak masuk ke kelas lo sendiri? Nimbrung di kelas orang lagi. Lo kan beda jurusan!”, kata Tino, sang ketua kelas.
“Biarin sih! Dosen juga belum dateng. Masalah yah buat elo?”, kata Galih.
“Udah Galih, mending kamu keluar deh. Nanti kita barengan lagi. Suasana udah nggak nyaman untuk kebersamaan kita!”
“Oke. Take care yah!”.
*****
            Akhirnya usai juga perkuliahan. Siap-siap pulang deh!
“Ratna, lo sadar dengan sikap lo tadi?”, kata Mina.
“Apa sih Min, kok logat bahasa lo nggak enak gitu!”, sahut Riri.
“Aku kenapa?”, tanyaku.
“Katanya lo nggak mau nikah muda. Nggak ngakuin kalo Galih suami elo. Trus, kenapa sekarang kalian makin mesra sih?”
“Masalah yah buat elo?”, tanya Riri pada Mina.
Mina melengos penuh kebencian.
            “Gue nggak ngerti yah! Dulu lo bilang ke semua orang bahwa lo bukan siapa-siapanya Galih, nah sekarang?”
“Diem lo, Min. Gue tegasin yah sama lo. Gue ini istrinya Galih. Terlepas gue inget ataupun nggak inget. Gue sadar pake banget! Lo mau apa? Nggak terima?”, seruku.
Nggak nyangka, aku bisa marah begitu.
“Gue mohon, lo nggak usah komentar lagi. Ratna dan galih udah cukup bahagia kok. Tanpa usikan sadis dari elo.”, kata Riri.
            “Yuk, Ri kita cabut dari sini. Aura jahat udah mengusik ketenanganku. Galih juga udah nungguin aku!”, ajakku pada Riri.
Lalu bertemu suami tercinta. Galih.
“Kenapa kalian?”, tanya Galih.
“Kami...”
Ku cubit lengan Riri.
“Kami bete ama perkuliahan barusan. Menjemukan!”, jawabku.
“I..iya bener! Lagi unmood deh!”.
            “Bener?”
“Beneran!”, jawabku dan Riri bersamaan.
“Oke deh. Kita langsung pulang atau makan dulu?”, tanya Galih.
“Makan aja deh! Gue udah laper banget. Yuk...!”.
“Yuk ah! Aku juga udah laper pake banget. Tapi nggak romantis nih. Ada Riri soalnya.”
Riri cemberut.
“Ayolah, bercanda kok!”, kataku.

JUJUR PAKE BANGET!!
*
“Galih, kamu tau nggak? Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi sekarang. Ortu udah nggak ada. Sodara juga entah siapa, aku nggak tau. Kamu tau itu kan?”
Hanya anggukan Galih yang ku lihat.
“Aku sudah mengakhiri kebebasanku. Aku tlah diikat oleh janji sucimu. Ketidakberdayaanku adalah milikmu!”
Galih tetap membisu.
            “Kamu tau, tetesan air mata ini adalah bagian dari kejujuranku. Aku mencintaimu. Terlebih bila kamu juga mencintaiku. Rasa cintaku tak pupus diterpa waktu. Itu janjiku padamu. Bila nanti aku menyakitimu, hukum aku dengan kebijaksanaan cintamu. Aku yakin, kamu adalah suami yang sudah cukup sempurna bagiku”, kataku.
            “Iya deh!”
“Kok?”.
“Nanti yah aku susun kata-kata yang indah buat kamu. Tau sendiri, aku nggak bisa sepuitis itu.”
“Bukan puitisnya yang aku nantikan. Kesetiaanmu kasih, itulah yang ku nantikan. Dalam masaku ini, masih ada sebuah penantian panjang yang ku pikirkan. Bagaimana aku bisa menjalani cerita-cerita yang penuh kebahagiaan bersamamu. Cerita indah yang jadi milik kita berdua.”.
            “Jujur, aku speechless! Aku akan berusaha membahagiakanmu semampuku. Ya, kita akan bersama-sama membangun bahtera rumah tangga yang bahagia. Kebahagiaan akan jadi milik kita berdua.”, kata Galih.
“Sayang, kamu mau minum kopi?”
“Iya boleh. Malam ini dingin banget.”
“Bentar yah!”, kataku.
            Beberapa menit kemudian.
“Hmm, nikmatnya kopi susu buatan istriku ini!”
“Oh makasih pujiannya. Tapi aku ingin segera menyeberangi pulau kapuk.”
“Maksudmu bobo?”
“Iya. Sekamar lagi yah?”
“Yaudah. Silakan aja.”
            Di kamarku.
“Gimana kalo sekarang?”
“Ah nggak mau. Aku belum siap. Tunggu nanti!”
“Yah, payah.”
“Apa?”
“Nggak. Aku sayang kamu.”
“Aku juga.”
**
            Riri tengah asik ngobrol dengan teman-teman yang lain.
“Eh, Nyonya Galih udah datang!”, sapa Luki.
“Iya. Tumbenan ikut kelasku?”
“Yah, pingin nyari suasana baru.”
“Oya, kamu tau nggak kalo Selvi itu mantan Galih?”, bisikku.
Luki mengangguk.
“Tau banget!”, kata Luki.
            “Kenapa mereka bisa putus?”
“Ya karena ada elo itu!”
“Kok bisa?”
“Bisa banget! Elo lebih cantik daripada Selvi itu. Trus gue nggak tau deh. Tanya aja ama Galih. Kan dia yang paling paham dengan isi hatinya sendiri.”
“Ohh... Trus gimana bisa aku dan Galih menikah?”
Luki malah ketawa.
            “Hey, come on! Sebelum menikah, kalian pacaran dulu. Nggak lama sih emang. Elo itu udah kaya orang amnesia!”
“Hey, come on! Elo udah lupa kalo gue itu emang amnesia?”, seruku.
“Oh iya.”
“Gue ingin tau cerita mereka sebenernya gimana? Jujur, gue ingin inget semuanya. Jenuh dengan pola hidup yang terikat amnesia.”
Luki tampak terharu melihatku.
            “Gue sih nggak paham banget yah dengan problematika cinta kalian. Bodo amat gitu loh! Gue yakin, elo pasti akan sembuh dari penyakit lo itu. Sabar aja.”
“Luk, elo inget kata-kata yang sering gue ucapin?”
“Inget. Elo nggak mau nikah muda sebelum kerja.”
“Iya bener. Kuliah dan biaya hidup ini aja, berkat beasiswa.”, kataku.
            “Sudahlah, menikahmu dengan Galih adalah anugerah loh menurutku. Dia sosok yang sempurna. Masalah dia datang lebih awal dari yang lo duga, jangan lo masalahin. Ini takdir, Ratna. Syukuri apa yang ada.”
“Dia adalah lelaki yang terindah. Setiap wanita akan bahagia bila memiliki cintanya.”, kataku.
Luki beranjak pergi begitu saja. Kenapa dengan Luki?
***
            “Lo mau kemana?”, tanya Roro.
“Pulang.”, jawabku.
“Ikut gue dulu!”
“Kemana?”
“Nggak usah banyak nanya!”
Roro menarik lengan bajuku sampai sobek. Sebegitu sadisnya dia memperlakukan aku.
            Tiba di sebuah ruangan yang kosong. Dulunya dipake sebagai ruang BK. Setauku, ruangan ini dikenal angker oleh warga kampus. Tapi kenapa, Roro nekat membawaku ke tempat ini?
“Ro, ngapain elo ngajakin gue ke sini?”
“Diem lo! Sel, keluar lo! Ini, mangsa udah di depan mata.”
Mangsa?
            Selvi muncul dengan pisau di tangannya. Tajam sekali! Ngeri pake banget!
“Nggak ada yang ngikutin elo kan?”, tanya Selvi pada Roro.
“Nggak ada. Aman.”, jawab Roro.
“Kalian mau apa? Gue buru-buru banget!”
“Gue ingin ngambil cinta Galih dari elo.”, seru Selvi.
“Galih suami gue. Lo nggak berhak ngomong gitu ke gue.”
“Pake ini!”, kata Selvi sambil mengamati pisau tajamnya.
Pake pisau? Aku mau dibunuh? Oh tidak!
            “Jangan, jangan lakukan itu! Sadarlah Sel!”, pintaku.
Selvi dan Roro mengikatku di kursi tua.
“Roro, Selvi, lepasin gue! Galih pasti nungguin gue. Please!”
“Nggak akan!”, kata Selvi.
“Ruangan ini terpasang peredam suara. Jadi orang-orang di luar sana, nggak akan bisa dengerin elo teriak. Meski elo sampe nangis darah. Nggak akan!”, bisik Roro.
            “Kalian jahat sekali! Apa salah gue? Setau gue, cinta itu nggak bisa dipaksain. Kalo mau Galih, kenapa dulu elo nggak nikah sama dia?”
“Eh, elo yang ngrebut Galih dari gue. Dulu tuh dia pacar gue. Karena elo yang dikabarkan pake guna-guna, Galih jadi terpikat sama elo.”, seru Selvi.
Selvi menatapku tajam. Culas sekali.
            “Wajar kalo Galih lebih milih gue daripada elo. Elo itu wanita jahat. Hati lo tuh sama bentuknya dengan hati iblis.”, kataku.
“Oh gitu? Ro, kita tinggalkan wanita yang ngaku sebagai malaikat ini di sini. Biar dia rasain racun iblis dari gue.”
“Ayo!”
“Hey, jangan tinggalin gue di sini.”
****
            “Ya Tuhan, udah berapa lama aku ditinggalkan di tempat ini? Aku bukan mengeluh dengan seberapa lama aku disiksa perlahan dalam kesendirian ini. Aku hanya tak bisa jauh dari sebelah hatiku. Galih. Pasti dia mencariku.”
Ku coba melepaskan diri dari ikatan yang melilit tubuhku. Dengan sisa-sisa tenaga yang ku miliki. Berhasil. Saatnya keluar menyelamatkan diri.
            Tapi sayang, pintu tak bisa ku buka. Mungkin udah digembok dari luar. Mungkin begitu. Ku cari setiap sisi ruangan. Barangkali ada celah yang bisa ku lalui. Ternyata semua tertutup rapat. Penuh dengan jeruji besi yang kuat. Ku rasa, seekor semut pun takkan bisa menembus celah sempit ruangan ini. Lalu apa yang bisa ku lakukan? Apa hanya tangisanku ini saja yang bisa ku lakukan?
“Nelpon Galih. Oh ya!”
Ku cari ponselku di dalam tas. Tak ada. Sia-sia saja. Aku baru ingat kalo aku lupa bawa ponsel. Hilang kesempatanku untuk menghirup udara bebas.
“Bagaimana aku bisa terbebas dari sini? Sementara aku tak berdaya seperti ini. Nggak ada cara yang bisa ku lakukan. Aku udah lemas. Kematian.”.
*****
            Perlahan ku buka mata. Masih samar-samar ku lihat sekelilingku. Warna putih. Seperti di Rumah Sakit.
“Ratna, kau udah siuman?”
Itu suara Galih. Senyumnya manis sekali!
“Aku kenapa? Bukannya aku sedang dikurung sama mereka?”
“Mereka siapa? Siapa yang membuatmu seperti ini?”
“Roro dan Selvi.”
Galih mengepalkan tangannya. Geram.
            “Galih, cincinmu masih kau simpan?”
“Masih. Lihatlah!”
“Syukurlah kalo masih ada. Cincin itulah yang nantinya menghantarkan pernikahan kita”.
“Apa? Menikah?”, seru Galih.
“Iya. Kenapa? Apa salah kalo aku menikah denganmu? Atau kau emang nggak niat untuk menikahiku. Bilang aja gitu!”.
“Nggak mungkin!”, kata Galih.
            “Galih jahat! Percuma saja aku bertunangan denganmu, kalo pada akhirnya aku nggak bisa menikah denganmu. Kamu tau, itu adalah kepalsuan semata! Cintaku kau kandaskan begitu saja? Apa nggak ada cara lain untuk membahagiakanku? Atau jangan-jangan selama ini kau hanya ingin mempermainkan aku? Aku punya hati, perasaan, terlebih cinta. Apa yang kau pikirkan?”
“Mencintai dan memiliki Ratna seluruhnya. Hanya itu!”
            “Lalu kenapa kau tak mau menikahiku? Masih cinta sama Selvi? Atau hanya ingin...”
“Cukup. Aku bukannya nggak mau menikahimu. Jelas aku mau banget. Tapi masalahnya...”
“Cukup. Aku udah tau kok! Aku nggak sepadan denganmu? Begitukah? Aku sudah bisa memastikan.”
“Bukan juga!”
            “Lalu apa?”
“Aku sudah menikah...”
“Menikah? Dengan siapa? Oh tidak!”, kataku.
Aku nggak bisa menerima kenyataan pahit ini.
“Aku udah menikah, Ratna.”
“Aku sudah cukup menderita. Kenapa tak kau bilang dari awal?”
“Menikah denganmu! Kau lupa lagi? Aku tak menyalahkan amnesiamu. Yang nggak bisa ku terima adalah, kau melupakan pernikahan kita. Itu nggak adil!”
            “Kau udah menikahiku? Berarti kau udah memiliki seluruh diriku?”, tanyaku.
“Belum. Karena kau tak mau menyerahkannya untukku. Tapi aku nggak mau maksa juga.”
“Kapan kita nikah?”
“Ya waktu itu. Aku sudah lupa juga. Terlalu sering kau tak mempercayaiku. Padahal aku udah jujur banget sama kamu.”
Kami terdiam.
            “Galih, bagaimana bisa aku selamat dari kurungan Selvi dan Roro? Bukankah mereka telah mengunciku?”
“Petugas jaga kampus yang menyelamatkanmu. Beliau memberitahuku. Lalu aku membawamu ke sini.”
“Berapa lama aku dikurung di sana? Aku tak ingat sama sekali.”
“Tiga hari. Aku udah mencarimu kemana-mana. Aku nggak bisa menghubungimu karena ponselmu tertinggal di rumah. Beruntung sang penjaga kampus menemukanmu.”.
            “Aku masih beruntung. Tapi jangan kau laporkan mereka ke pihak kampus. Secara otomatis, mereka akan kena sanksi.”
“Yah, mereka udah kena skorsing selama seminggu. Selain itu, mereka juga kena teguran keras dari Dekan. Kalo membahayakan nyawamu lagi, mereka akan dikeluarkan. Bahkan dilaporkan ke pihak yang berwajib.”
“Serumit itukah akibatnya?.”
“Itu konsekuensi dari ulah jahat iblis cantik!”, kata Galih.

SAKIT PAKE BANGET!!
*
            “Galih, aku sih sayang sama kamu. Tapi aku belum yakin kalo kita udah nikah. Atau jangan-jangan kamu bo’ong?”
“Enak aja! Sejak kapan aku suka bercanda serius macam gitu? Aku nih udah sah sebagai suami kamu. Surat nikah, ada tuh di Bunda. Maka dari itu, kamu cepet sembuh dari amnesiamu itu. Biar inget semuanya!”, kata Galih.
            Efek amnesia telah memperburuk keadaan? Mungkin saja! Seberapa parahnya amnesiaku, jelas aku nggak bisa ngukur frekuensinya. Bagiku, segala sesuatu yang terjadi padaku sekarang adalah takdir yang harus ku syukuri. Yah, asik kali ya jadi istri Galih. Semoga saja demikian. Karena berbagai opini ata bahkan fakta dari omongan orang-orang, aku adalah istri Galih.
            “Sampai kapan aku boleh beraktivitas seperti sediakala? Aku kangen sama aktivitas kesibukanku sebagai mahasiswi. Perkuliahan yang membosankan adalah bagian dari hidupku saat ini. Besok, aku kuliah lagi ya?”
“Kenapa harus izin padaku? Kalo kamu udah ngerasa fit, yaudah kuliah aja. Aku pasti mendukungmu kok!”
Lah, jawabannya sungguh tidak mengenakkan!
            “Galih, apa gunanya kau jadi suami kalo gitu sikapmu padaku. Setidaknya kau kasih perhatian dikitlah... Aku ragu, apakah benar kau ini memang suamiku? Kok gitu banget kalo emang bener suamiku? Sejak kapan aku bisa nikah sama orang jutek macam kau ini! Kalo gitu, salah besar donk, aku bisa nikah sama kamu? Keputusanku waktu itu, salah pake banget!”
            “Aduh, bukan begitu maksudku. Aku ini bukan suami yang cuek dan jutek seperti yang kamu tuduhkan! Aku ini...”
“Ah, episodenya bersambung aja. Aku udah muak ah. Mau istirahat. Jangan ganggu aku!”
“Tapi kan belum selesai...”
“Selesain sendiri aja!”
**
            Teman-teman sekelas, menyambutku dengan ceria. Aku yang tadinya masih ngerasa illfeel sama Galih, beralih jadi ceria juga.
“Makasih ya teman-teman. Kalian semua luar bisa. Gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi selain terima kasih.”, kataku.
Riri memelukku.
“Teman-teman, sebagai rasa syukur kita atas kembalinya Ratna, bagaimana kalo kita rayain? Yah, pesta kecil-kecilan di rumah gue? Mau nggak?”, kata Riri.
            “Ayolah. Gue mau banget!”, seru Meike.
“Nggak usah dirayainlah. Kan gue Cuma beberapa hari aja ngilang. Trus gue udah kembali. Kayaknya nggak perlu dirayain begitu.”, kataku.
“Gue sih terserah anak-anak sih. Dirayain ayo. Nggak dirayain, yah terserah juga!”, kata Febi.
            “Yaudah, nanti kalian semua bakal gue traktir makan di kantin. Pada mau nggak?”, tanya Riri.
“Ah, elo sok punya duit banyak!”, kata Hilman.
“Weits, gue abis dapet kiriman dari Nyokap gue. Apa lo? Mau ikut nggak?”
“Ayolah, pasti asik kalo makan bareng satu kelas!”, kata Meike.
Mereka adalah teman-teman yang baik.
            “Nah, pada setuju kan? Berarti jadi yah kita nanti. Istirahat, langsung cabut ke kantin. Tenang, gue yang bakal bayarin elo-elo pada. Beres deh!”, kata Riri.
“Ah, gue nggak mau dibayarin. Emang lo pikir, gue orang miskin pake dibayarin segala?”, seru Lolly.
“Gue juga. Kita kan orang kaya ya Lol? Masa dibayarin ama Riri. Nggak level ama kriteria!”, kata Olla.
            Masih aja ada temen yang belagu pake banget. Macem Olla dan Lolly. Apa mereka puas dan bangga dengan status kekayaan mereka yang notabene milik ortu mereka?
“Ya terserah elo deh! Gue mah bayarin yang mau gue bayarin!”, kata Riri.
“Lagian, kita hidup di dunia ini cuma sementara aja. Jadi, jangan ada yang menaruh kesombongan di atas kepala kalian ya?”, kata Tino.
Tino. Pak Ustad masa kini. Hahahaaa...
***
            “Wow, ini bener-bener membahagiakan buat gue, Ri. Elo udah bikin gue berasa hidup kembali. Seneng banget deh!”, kataku.
“Iya. Sama-samalah...”, kata Riri.
Belum lama aku tuangkan tawaku, ku lihat Galih sedang bersenda gurau dengan wanita lain. Tentu saja selain aku. Tak jauh dari kantin.
            “Ri, itu Galih kan?”
“Iya. Dan itu Frisil! Mereka akrab sejak Galih bantuin gue.”
“Bantuin apa?”
“Yah waktu itu. Pas gue minta tolong sama Galih. Elo sih nggak tau. Inget nggak, yang elo sempet cemburu karena Galih pergi sama gue?”
Oh itu. Aku inget.
            “Trus, siapa Frisil itu?”
“Dia siapa ya? Nggak ada hubungan kerabat sama gue. Tetangga aja sih. Meski rumah kami nggak deket-deket banget. Nyokap gue yang kenal ama nyokapnya. Gue mah nggak terlalu deket ama tuh orang!”, kata Riri.
“Frisil suka sama Galih?”
“Nggak tau. Liat aja sendiri bagaimana ekspresi dia sekarang!”
Ekspresi cinta yang ku lihat.
            Aku yakin, Frisil menyukai Galih. Secara, Galih jauh dari kekurangan. Bagiku, dia adalah lelaki sempurna. Meski banyak yang tau kalo Galih suamiku, tak menutup kemungkinan dia akan dijauhi wanita. Justru, akan semakin didekati!
“Eh, elo kenapa? Makan tuh! Galih nggak bakalan kenapa-kenapa kok! Santai aja kali... Nggak usah cemburu tingkat dewi gitu lah...”
            “Jah, ada yang cemburu nih! Suaminya sedang dideketin cewek lain!”, kata Olla.
“Hust!”, kata Febi.
“Heboh tuh!”, seru Hilman.
“Jangan gitu. Nggak baik membicarakan sesuatu yang belum pasti kebenarannya!”, kata Tino.
Kalo bener gimana?
            “Sudahlah, ini bukan gosip heboh yang perlu disebarluaskan. Nggak ada guna juga dipermasalahkan. Ayolah, kita nikmati makan siang kali ini dengan penuh keceriaan!”, kata Meike.
“Benar itu!”, seru Riri.
“Nambah lagi, boleh nggak?”, tanya Usman pada Riri.
“Boleh! Silakan aja!”, jawab Riri.
****
            “Pulang sekarang?”, tanya Galih.
“Iya.”
Galih menstarter motornya.
“Tunggu Kak Galih!”, seru seorang cewek yang ku kenal.
Frisil. Dia lagi. Ada perlu apa?
“Kenapa?”
“Aku ada perlu sama Kak Galih. Bisa ngomong berdua?”, kata Frisil.
            Ku tinggalkan mereka berdua. Ku rasa aku udah bukan istri Galih lagi. Seenaknya saja Frisil kurang ajar kelakuannya. Sesopan apapun, bagiku dia adalah musuh besar!
“Bentar ya, Ratna!”, kata Galih.
Aku udah nggak peduli sama Galih. Ku rasa, mencari taksi dan pulang sendiri adalah ide yang terbaik. Nggak perlu menunggu suami yang memutuskan untuk berduaan dulu dengan cewek lain.
            “Kamu pikir, aku kecewa gitu, kalo aku pulang sendiri? Hei, aku bisa naik taksi. Aku bisa sendiri. Tanpamu lagi!”, keluhku.
Pak sopir taksi ikut bicara.
“Ada apa sih Mbak? Dari tadi saya amati, Mbak ini kayak kesel sama seseorang!”
“Udahlah, Pak! Bapak nyopirnya yang bener! Saya males yah, curhat sama Bapak!”, kataku.
            Lima belas menit kemudian, aku telah sampai di rumah dengan selamat. Meski aku menyadari, jiwa, hati, dan pikiranku, sepertinya udah di ambang kehancuran. Hancur berkeping-keping.